RSS

Arsip Kategori: ANALISIS PUISI

Chairil yang Tak Sapadan dan Sia-sia

Dalam sajak Tak Sepadan, yang dituliskan pada bulan yang sama dengan sajak Diponegoro, Chairil menentukan pilihannya. Dia berkata: “kau kawin, beranak dan berbahagia / Sedang aku mengembara serupa Ahasveros“. Chairil menolak ikatan, dia memilih kesunyian. Dan putusan ini bukan tanpa dia pikir masak-masak sebelumnya.

 

Tak Sepadan

Aku kira

Beginilah nanti jadinya

kau kawin, beranak dan berbahagia

Sedang aku mengembara serupa Ahasveros

 

Dikutuk-disumpahi Eros

Aku merangkaki dinding buta

Tak satu jua pintu terbuka

 

Jadi baik juga kita pahami

Unggunan api ini

Karena kau tidak ‘kan apa-apa

Aku terpanggang tinggal rangka

 

Februari 1943

Dia tahu apa yang akan jadi nasibnya. “Aku merangkai dinding buta / Tak juga pintu terbuka”, katanya melukiskan apa yang akan terjadi pada dirinya dengan memilih jalan tersebut.

Ini diperkuat lagi pada sajaknya yang berikut, yang juga dituliskan pada bulan yang sama, Sia-sia.

 

Sia-sia

Penghabisan kali ini kau datang

Membawa kembang berkarang

Mawar merah dan melati putih

Darah dan Suci

Kau terbarkan padaku

Serta pandang yang memastikan: untukmu

Lalu kita sama termangu

Saling bertanya: apakah ini?

Cinta? Kita berdua tak mengerti

 

Sehari kita bersama. Tak hampir-menghampiri

 

Ah! Hatiku yang tak mau memberi

Mampus kau dikoyak-koyak sepi

Februari 1943

 

Betapa menggoda kehidupan yang diidealisir seperti yang dilakukan oleh Diponegoro, dilukiskan oleh Chairil dalam sombol-simbol ikatan cinta dengan seorang gadis, yang memang memiliki persamaan dasar yang kuat. “Darah dan Suci / kau terbarkan depanku / Serta pandang yang memastikan: untukmu”. Dan keputusan diambil — dia memilih kehidupan ini sebagaimana adanya, tanpa mengidealisirnya. Ini artinya kesepian. Ini artinya kesunyian. Ini artinya penderitaan. Tapi Chairil tetap memilihnya, dan dia menista dirinya karena memilih yang itu. “Ah! Hatiku yang tak mau memberi / Mampus kau dikoyak-koyak sepi”. Betapa beratnya pilihan itu bagi Chairil.

 

diambil dari: Chairil Anwar

Sebuah Pertemuan, Arief Budiman. hal. 23-24

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 12/30/2014 inci ANALISIS PUISI